MENGENAI YANZ


Name: yanuarsintoanggoro
Home: SLEMAN PENUH BERKAH, NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, Indonesia
About Me: saya adalah orang yang lahir dengan (ALHAMDULILLAH YA ALLAH) kesempurnaan. lahir dari rahim seorang Budi Winarni yang di buahi oleh Sutono. Kini sedang menjalani studi di obat alami UGM. sebuah kampus yang mentereng di Indonesia (semoga aku ikut mentereng karenanya).
See my complete profile

POSTING SEBELUMNYA
BULAN
SAMBUNGAN
Free Web Site Counters
Free Web Site Counters
Kamis, 22 November 2007
obat indonesia termahal di asia pasifik
OBAT jadi bermerek dan yang harus dibeli dengan resep (ethical drugs) di Indonesia tergolong paling mahal di dunia, atau paling tidak di kawasan Asia Pasifik. Ambil saja contoh, obat tukak lambung Zantac buatan perusahaan farmasi Inggris Glaxo, yang sejak sepuluh t ahun lalu tergolong obat paling laris di dunia. Berdasarkan survai yang dilakukan HAI (Health Action International) Consumers International antara Juli-September 1995, harga 100 tablet Zantac a 150 mg di Indonesia 150 dollar AS, atau 1,5 dollar (sekitar Rp 3.300) per tablet. Di India dan Nepal, nama kedua obat ini (kandungan bahan aktifnya sama, ranitidine dan juga diproduksi Glaxo) adalah Zinetac, harganya hanya 3 dollar AS per 100 tablet, atau hanya 1/50 harga di Indone sia. Di Pakistan harga Zantac hanya 39 dollar AS, Filipina 95 dollar AS, dan Kanada 81 dollar AS (baca laporan dan lihat tabel di halaman 13). Di Australia malah hanya 20 dollar AS, di Selandia Baru 52 dollar AS, sementara di Amerika Serikat yang asuransi kesehatannya sedang amburadul dan gagal dibenahi Presiden Clinton harganya mencapai 169 dollar AS. Harga Zantac di negara-negara kaya Eropa bervariasi, mulai dari yang di bawah 100 dollar AS, hingga 149 dollar AS (Jerman), 156 d ollar AS (Finlandia) dan yang paling mahal adalah Swiss, 284 dollar AS. Tapi harap diingat, berapa dollar per kapita pendapatan rakyat di sana. Menarik mengikuti ihwal Zantac ini, yang memasuki pasar Indonesia tahun 1986, waktu itu dengan harga eceran tertinggi (sistem yang kini sudah dihapus oleh Departemen Kesehatan) masih Rp 1.200 per tablet 150 mg (waktu itu 1 dollar AS = Rp 1.644), berarti masih di bawah satu dollar AS per tablet. Tahun 1992 sudah melonjak menjadi Rp 2.076, dan dalam tem po tiga tahun melejit lagi lebih dari satu setengah kali, seiring dengan melemahnya nilai dollar AS dan rupiah. Kini Glaxo di Indonesia mungkin sudah bisa mendiktekan harga Zantac, karena sudah menguasai pangsa pasar yang tadinya didahului oleh kompetitornya, obat me-too atau obat "jiplakan" buatan pabrik swasta nasional, seperti Rantin (buatan Kalbe Farma) atau Gastridin (Interbat). Kedua obat yang terakhir ini sama-sama berbahan aktif ranitidine seperti Zantac, tapi bahan bakunya dibeli di pasaran bebas, produksi "bajakan" dari Italia dan Spanyol yang jauh lebih murah karena pabriknya tidak perlu membayar paten dan membiayai riset. Dengan harga bahan baku yang jauh lebih murah, industri farmasi nasional seperti Kalbe Farma bisa meraup margin keuntungan y ang besar (Kompas 14/12/1986). *** ADA yang mengatakan bahwa harga suatu me-too drug dibanding cost of goods sold (harga pokok sebelum kena pajak) di Indonesia bisa sampai empat kali lipat, bahkan lebih. Ini tentu bisa membuat industri farmasi nasional menempuh segala cara pemasaran agar produknya laku, termasuk yang tidak etis yaitu dengan "mengontrak dokter". Fenomena ini sering dikecam oleh fa rmakolog FK UI Prof dr Iwan Darmasyah sebagai industrio-medical complex. Hal ini sering dikeluhkan oleh industri-industri farmasi PMA (Penanaman Modal Asing), yang konon lebih ketat untuk tidak menempuh cara promosi dan pemasaran yang kasar. Mereka menilai persaingan bisnis farmasi di Indonesia sudah tidak sehat dan tidak fair, karena perusahaan induk mereka sudah susah-sudah melakukan riset menemukan obat-obat baru, yang sebagian masa patennya pun belum berakhir sudah banyak "dij iplak". Hak milik intelektual (intellectual property right) untuk obat masih terlambat dihargai dibanding karya musik hingga software komputer. Lihat saja hingga tahun 1987 lalu, harga kaset lagu-lagu luar negeri di Indonesia tergolong paling murah di dunia, tapi kemudian naik tiga kali lipat karena kita harus membayar royalti. Tapi industri farmasi multinasional pun tak luput dari kecaman para aktivis organisasi konsumen sedunia, yang umumnya menuding mereka kelewat banyak mengambil keuntungan, termasuk dengan menerapkan kebijakan transfer pricing, wajib membeli bahan baku dari pabrik induk dengan harga mahal. Besarnya keuntungan industri farmasi multinasional bisa dilihat dari daftar 50 perusahaan terbesar di dunia dalam daftar Fortune 500 di majalah Fortune. Pengusaha farmasi swasta nasional pun berkilah, apa bedanya "mengontrak dokter" dengan membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih ikut seminar? Glaxo yang hingga 25 tahun yang lalu belum apa -apa, kini menjadi perusahaan farmasi terkaya dan terbesar di dunia setelah melakukan mega-merger dengan Burroughs Wellcome. Pihak industri farmasi multinasional seperti Glaxo pun bisa berkelit, bahwa mereka bisa begitu maju karena dana yang mereka tanamkan untuk riset dan pengembangan tidak kecil. Menurut majalah Scrip Maret 1995, dana R&D yang dikeluarkan industri farmasi multinasional rata-rata 10 persen dari total penjualan mereka. Perusahaan seperti Upjohn misalnya menghabiskan sebesar 18,5 persen total penjualannya untuk litbang. Sementara industri farmasi swasta nasional Indonesia? Praktis nol persen! * * * DEWASA ini industri farmasi makin sulit untuk menemukan dan mengembangkan obat baru. Biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk menciptakan satu jenis obat baru kini mencapai lebih dari 230 juta dollar AS dan 12 tahun. Ini disebabkan kehati-hatian yang d berlebihan dari otoritas pengawasan obat di negara-negara maju sejak bencana penggunaan obat Thalidomide yang menimbulkan kecacatan pada ribuan bayi dua dekade lalu. Prof Dr Paul Janssen, pendiri industri farmasi Janssen Pharmaceutica Belgia yang tergolong paling banyak menemukan molekul bahan aktif obat baru menyatakan, hendaknya masyarakat dunia tetap menjunjung hak paten dan hak milik intelektual di bidang obat, karena tanpa riset tak akan ditemukan obat baru. Kemajuan di bidang riset obat-obatan yang cenderung menurun juga perlu dibantu agar masalah manfaat dan risiko tidak menghantui para penemu dan industri farmasi (Kompas, 7/5/1993). Laboratorium Janssen di Belgia yang kendati kini telah dibeli oleh perusahaan Johnson & Johnson AS rata-rata bisa memproduksi satu jenis obat baru setiap enam bulan, jauh lebih cepat dibanding industri farmasi umumnya. Ratusan penelitinya setiap hari mensintesa puluhan molekul baru, tapi dari beberapa ribu molekul baru h anya satu-dua yang bisa dilanjutkan untuk menjadi obat yang komersial. Semuanya itu membutuhkan dana yang tak sedikit, karenanya Janssen harus rela menerima modal dari AS. Di sinilah ironinya. Industri farmasi multinasional harus melakukan litbang untuk penemuan obat dengan kelompok terapi tertentu, karena mustahil mencakup semua spektrum obat yang ada, tapi perusahaan swasta nasional seperti di Indonesia bisa dengan leluasa tinggal menunggu obat-obat mana yang top dari seluru h spektrum golongan terapi, lalu tinggal "menjahitnya." Bagi negara seperti Indonesia, rasanya sulit untuk mengejar ketinggalan di bidang litbang farmasi dan kedokteran. Karenanya yang lebih memungkinkan adalah secepatnya melaksanakan sistem asuransi kesehatan masyarakat, memperbanyak obat-obat esensial dan generik untuk lapisan masyarakat yang membutuhkan, dan menata kembali industri farmasi kita yang sakit, sehingga industri farmasi nasional tidak hanya menjadi sekadar pembuat o bat-obat "latah" atau "jiplakan" dengan margin keuntungan selangit. (Irwan Julianto)
posted by yanuarsintoanggoro @ 02.16  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home