MENGENAI YANZ


Name: yanuarsintoanggoro
Home: SLEMAN PENUH BERKAH, NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, Indonesia
About Me: saya adalah orang yang lahir dengan (ALHAMDULILLAH YA ALLAH) kesempurnaan. lahir dari rahim seorang Budi Winarni yang di buahi oleh Sutono. Kini sedang menjalani studi di obat alami UGM. sebuah kampus yang mentereng di Indonesia (semoga aku ikut mentereng karenanya).
See my complete profile

POSTING SEBELUMNYA
BULAN
SAMBUNGAN
Free Web Site Counters
Free Web Site Counters
Kamis, 22 November 2007
SEJARAH FARMASI
FARMASI Arab ataupun lebih khusus lagi dikenali sebagai saydanah merupakan satu bentuk profesi yang mulanya agak asing dari dunia kedokteran. Pada abad ke-9, dunia Arab dan Islam telah berhasil membangun jembatan ilmu yang menghubungkan antara sumbangan Yunani dengan dunia farmasi moderen sekarang ini. Malah tahap ilmu yang diperoleh daripada Yunani khususnya terus ditingkatkan dan usaha ini diteruskan hingga ke abad ke-13 melalui berbagai karya, terjemahan ataupun peningkatan ilmu pada zaman-zaman berikutnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, farmasi dipraktekkan secara terpisah dari profesi medis yang lain. Puncak sumbangan dunia Arab-Islam dalam farmasi dicapai dengan siapnya satu panduan praktikum farmasi pada tahun 1260.
Tulisan berjudul Minhaj itu adalah hasil karya Abu'l-Muna al-Kohen al-Attar dari Mesir. Al-Attar seorang ahli farmasi berpengalaman. Dalam Minhaj, al-Attar menuliskan pengalaman hidupnya serta ilmu dalam seni apotek, atau seni meracik ubat. Sebahagian besar buku itu menguraikan tentang etika farmasi, salah satu topik penting dalam sejarah profesi kesehatan.
Sementara itu, di kota-kota seperti Baghdad, profesi farmasi dipraktekkan dengan rapi sehingga ahli farmasi mendapat perlindungan dan sanjungan daripada pemerintah serta pengguna ketika itu. Melalui penyebaran perdagangan dunia Islam yang kian pesat, dan daya tarik bahan rempah-rempah dan bahan obat-obatan, menjadikan kedudukan profesi farmasi khususnya, dan kesihatan pada umunya di dunia Arab semakin meningkat. Dan sebenarnya bidang farmasi Barat adalah berasal daripada farmasi Arab dan Islam. Aspek dan pengaruh Arab ini tidak ditulis oleh penulis barat pada sejarah perubatan umumnya dan sejarah farmasi khususnya. Sedangkan pada hakikatnya prestasi sains dan budaya dunia Arab begitu banyak mempengaruhi profesi serta sumbangan pustaka farmasi di barat yang ada hingga hari ini.
Sayangnya, kurang daripada satu abad selepas al-Attar, praktek farmasi mulai beku dan kaku, dan terus merosot dengan jatuhnya peradaban Arab pada abad ke 19. Sejak dari itu, farmasi mula berkembang dengan pesatnya di Eropah khususnya dan Barat umumnya.
TOKOH ARAB DAN ISLAM YANG UTAMA
Yuhanna b. Masawayh (777 - 857)
Beliau adalah anak seorang ahli farmasi (dikenali sebgai apoteker). Beliau terkenal melalui tulisannya dalam bahasa Arab tentang meteria medica dan rawatan. Salah satu daripadanya berjudul al-Mushajjar al-Kabir yang menyusun daftar penyakit serta obat-obatnya dan juga pola makanan yang berkaitan. Malah beliau menyatakan bahwa para dokter yang boleh menyembuhkan penyakit dengan hanya melalui pengaturan pola makan tanpa penggunaan ubat adalah yang paling berjaya dan beruntung. Masawayh juga mengusulkan penggunaan beberapa tumbuhan terkenal untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit. Beliau menyeru para dokter agar menggunakan hanya satu obat untuk satu penyakit berdasarkan prinsip empiriks dan analogi.
Bahan yang banyak digunakan dalam terapi perubatan Arab adalah kamfora. Menurut Masawayh bahan ini berasal dari China dan dibawa ke Arab melalui perdagangan dengan India dan Parsi. Menurutnya lagi, sandalwood iaitu bahan yang digunakan untuk menghasilkan minyak wangi, baik yang jenis kuning, putih atau merah juga datang dari India. Bahan-bahan seperti ini digunakan dalam sediaan farmasi Islam pada abad ke-8 (atau lebih awal lagi) dan lewat ini istilah farmasi terbentuk dalam Islam. Misalnya, kata-kata seperti al-Saydanani ataupun al-Saydalani yang berarti dia yang menjual atau yang berkaitan dengan sandalwood, sedang perkataan saydanah bermaksud farmasi.
Pada masa itu, Masawayh dikenal sebagai dokter dari beberapa khalifah, di ibukota Abbasiah selama hampir empat dekade. Beliau juga merupakan dokter Islam yang pertama mendirikan sekolah kolej farmasi swasta Arab.
Abu Hasan Ali bin Sahl Rabban al-Tabari
Beliau dilahirkan pada 808, sahabat dari Masawayh. Pada usia 30 tahun beliau diperintahkan untuk ke kota Samarra oleh Khalifah Mu'tasim (833-842) untuk mengabdi sebagai dokter. Tabari menulis banyak buku kedokteran, yang terkenal adalah Syurga Hikmah yang membicarakan tentang tingkah laku manusia, kosmologi, embriologi, psikoterapi, kebersihan, pola makan dan penyakit (akut dan kronik) serta cara merawatnya. Buku ini juga memuat kisah-kisah kedokteran abstrak serta petikan dari referens yang berbahasa India. Bukunya juga mengandung beberapa bab tentang meteria medika, makanan biji-bijian, kegunaan terapeutik hewan serta organ-organ burung dan juga campuran obat-obatan termasuk cara membuatnya.
Tabari juga menyarankan agar nilai terapeutik setiap obat digunakan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu dan dokter harus pandai membuat pilihan yang terbaik. Beliau pernah menguraikan dengan terperinci penggunaan sesuatu bahan sebagai bahan terapeutik, termasuk cara-cara menyimpannya sambil memperingatkan tentang bahaya yang ada pada bahan tersebut. Contohnya peringatan terhadap penggunaan satu mithqal (lebih kurang 4 gram) candu bisa menyebabkan tidur ataupun maut.
Sabur b. Sahl
Beliau merupakan orang pertama menulis formula pertama dalam sejarah Islam. Formula ini dikenali sebagai Agradadhin. Sabur meninggal dunia pada 869. Dalam tulisannya, beliau memberikan resep kedokteran tentang kaedah dan teknik meracik obat, tindakan farmakologinya, dosis-dosisnya untuk setiap sekali pengunaan. Formula-formula ubat ini disusun berdasarkan jenis sediaan: tablet, serbuk, salap, sirup dan sebagainya. Banyak dari resep-reses ini menunjukkan persamaan dengan dokumen dari Asia Barat dan Yunani-Roman.
Formula ini ditulis untuk ahli-ahli farmasi apakah di apotik ataupun di hospital. Oleh itu, hampir selama 200 tahun formula ini digunakan sebagai panduan ahli farmasi di seluruh dunia Islam. Tulisan Sabur ini merupakan satu langkah penting dalam sejarah farmakope dan banyak disalin serta ditiru dalam buku kedokteran Arab selanjutnya.
Zayd Hunayn b. Ishaq al-Ibadi (809-873)
Sumbangan beliau tidak kurang pentingnya kepada praktek farmasi dan kedokteran Arab. Beliau adalah anak dari seorang apoteker. Hunayn diantar ke Baghdad, yang pada masa itu merupakan pusat pendidikan Islam terpenting untuk mengikuti pendidikan dalam perawatan. Beliau kemudian ke Syria, Mesir dan negara sekitarannya untuk mendalami lagi latihannya. Setelah beliau kembali ke Baghdad, beliau sudah mahir tentang asal-usul perubatan Yunani khususnya yang diterjemahkan dalam Bahasa Syria.
Hunayn memainkan peranan yang penting dalam penterjemahan atau penentuan ketepatan terjemahan yang dilakukan (termasuk penulis Hippocrate, Gelen dan penulis Yunani lain) di samping menulis buku-bukunya sendiri. Sumbangannya menjadi lebih terasa pada tahun 830, Khalifah al-Ma'mun mendirikan satu institusi sains (bait al-Hikmah) untuk tujuan penyelidikan dan penterjemahan bahan-bahan Yunani ke dalam bahasa Arab. Hunayn menjadi pembimbing pusat kajian ini dan dalam masa 40 tahun, beliau menterjemahkan dan mewujudkan istilah serta rangkaian kata yang digunakan untuk tujuan praktek kedokteran dan pengajaran.
Antara buku dan tulisan Hunayn adalah tentang aspek kebersihan mulut, pecuci dan penggunaan bahan-bahan pergigian. Beliau terkenal sebagai penulis Arab pertama yang melakukan hal ini. Beliau juga yang menemukan bahan-bahan makanan dan minuman yang dianggap dapat merusak gigi. Hunayn juga mengusulkan pembersihan gigi, khususnya selepas makan seperti yang dianjurkan dalam kedokteran moderen. Tulisannya yang lain termasuklah tentang nilai gizi dan pemakanan, tentang mandi, terapi gizi secara umum dan juga tentang bunga mawar serta obat-obatan tertentu.
Frankfurt/Main, 10 - 12 - 2005,
Diresume dan diedit dari tulisan:Perkembangan Sejarah Awal Farmasi Dan Toksikologi Sumbangan Personaliti Dunia Arab dan Islam oleh Prof.Dzulkifli Abdul Razak, Pusat Racun Negara, USM, Malaysia.
posted by yanuarsintoanggoro @ 02.30   0 comments
obat indonesia termahal di asia pasifik
OBAT jadi bermerek dan yang harus dibeli dengan resep (ethical drugs) di Indonesia tergolong paling mahal di dunia, atau paling tidak di kawasan Asia Pasifik. Ambil saja contoh, obat tukak lambung Zantac buatan perusahaan farmasi Inggris Glaxo, yang sejak sepuluh t ahun lalu tergolong obat paling laris di dunia. Berdasarkan survai yang dilakukan HAI (Health Action International) Consumers International antara Juli-September 1995, harga 100 tablet Zantac a 150 mg di Indonesia 150 dollar AS, atau 1,5 dollar (sekitar Rp 3.300) per tablet. Di India dan Nepal, nama kedua obat ini (kandungan bahan aktifnya sama, ranitidine dan juga diproduksi Glaxo) adalah Zinetac, harganya hanya 3 dollar AS per 100 tablet, atau hanya 1/50 harga di Indone sia. Di Pakistan harga Zantac hanya 39 dollar AS, Filipina 95 dollar AS, dan Kanada 81 dollar AS (baca laporan dan lihat tabel di halaman 13). Di Australia malah hanya 20 dollar AS, di Selandia Baru 52 dollar AS, sementara di Amerika Serikat yang asuransi kesehatannya sedang amburadul dan gagal dibenahi Presiden Clinton harganya mencapai 169 dollar AS. Harga Zantac di negara-negara kaya Eropa bervariasi, mulai dari yang di bawah 100 dollar AS, hingga 149 dollar AS (Jerman), 156 d ollar AS (Finlandia) dan yang paling mahal adalah Swiss, 284 dollar AS. Tapi harap diingat, berapa dollar per kapita pendapatan rakyat di sana. Menarik mengikuti ihwal Zantac ini, yang memasuki pasar Indonesia tahun 1986, waktu itu dengan harga eceran tertinggi (sistem yang kini sudah dihapus oleh Departemen Kesehatan) masih Rp 1.200 per tablet 150 mg (waktu itu 1 dollar AS = Rp 1.644), berarti masih di bawah satu dollar AS per tablet. Tahun 1992 sudah melonjak menjadi Rp 2.076, dan dalam tem po tiga tahun melejit lagi lebih dari satu setengah kali, seiring dengan melemahnya nilai dollar AS dan rupiah. Kini Glaxo di Indonesia mungkin sudah bisa mendiktekan harga Zantac, karena sudah menguasai pangsa pasar yang tadinya didahului oleh kompetitornya, obat me-too atau obat "jiplakan" buatan pabrik swasta nasional, seperti Rantin (buatan Kalbe Farma) atau Gastridin (Interbat). Kedua obat yang terakhir ini sama-sama berbahan aktif ranitidine seperti Zantac, tapi bahan bakunya dibeli di pasaran bebas, produksi "bajakan" dari Italia dan Spanyol yang jauh lebih murah karena pabriknya tidak perlu membayar paten dan membiayai riset. Dengan harga bahan baku yang jauh lebih murah, industri farmasi nasional seperti Kalbe Farma bisa meraup margin keuntungan y ang besar (Kompas 14/12/1986). *** ADA yang mengatakan bahwa harga suatu me-too drug dibanding cost of goods sold (harga pokok sebelum kena pajak) di Indonesia bisa sampai empat kali lipat, bahkan lebih. Ini tentu bisa membuat industri farmasi nasional menempuh segala cara pemasaran agar produknya laku, termasuk yang tidak etis yaitu dengan "mengontrak dokter". Fenomena ini sering dikecam oleh fa rmakolog FK UI Prof dr Iwan Darmasyah sebagai industrio-medical complex. Hal ini sering dikeluhkan oleh industri-industri farmasi PMA (Penanaman Modal Asing), yang konon lebih ketat untuk tidak menempuh cara promosi dan pemasaran yang kasar. Mereka menilai persaingan bisnis farmasi di Indonesia sudah tidak sehat dan tidak fair, karena perusahaan induk mereka sudah susah-sudah melakukan riset menemukan obat-obat baru, yang sebagian masa patennya pun belum berakhir sudah banyak "dij iplak". Hak milik intelektual (intellectual property right) untuk obat masih terlambat dihargai dibanding karya musik hingga software komputer. Lihat saja hingga tahun 1987 lalu, harga kaset lagu-lagu luar negeri di Indonesia tergolong paling murah di dunia, tapi kemudian naik tiga kali lipat karena kita harus membayar royalti. Tapi industri farmasi multinasional pun tak luput dari kecaman para aktivis organisasi konsumen sedunia, yang umumnya menuding mereka kelewat banyak mengambil keuntungan, termasuk dengan menerapkan kebijakan transfer pricing, wajib membeli bahan baku dari pabrik induk dengan harga mahal. Besarnya keuntungan industri farmasi multinasional bisa dilihat dari daftar 50 perusahaan terbesar di dunia dalam daftar Fortune 500 di majalah Fortune. Pengusaha farmasi swasta nasional pun berkilah, apa bedanya "mengontrak dokter" dengan membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih ikut seminar? Glaxo yang hingga 25 tahun yang lalu belum apa -apa, kini menjadi perusahaan farmasi terkaya dan terbesar di dunia setelah melakukan mega-merger dengan Burroughs Wellcome. Pihak industri farmasi multinasional seperti Glaxo pun bisa berkelit, bahwa mereka bisa begitu maju karena dana yang mereka tanamkan untuk riset dan pengembangan tidak kecil. Menurut majalah Scrip Maret 1995, dana R&D yang dikeluarkan industri farmasi multinasional rata-rata 10 persen dari total penjualan mereka. Perusahaan seperti Upjohn misalnya menghabiskan sebesar 18,5 persen total penjualannya untuk litbang. Sementara industri farmasi swasta nasional Indonesia? Praktis nol persen! * * * DEWASA ini industri farmasi makin sulit untuk menemukan dan mengembangkan obat baru. Biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk menciptakan satu jenis obat baru kini mencapai lebih dari 230 juta dollar AS dan 12 tahun. Ini disebabkan kehati-hatian yang d berlebihan dari otoritas pengawasan obat di negara-negara maju sejak bencana penggunaan obat Thalidomide yang menimbulkan kecacatan pada ribuan bayi dua dekade lalu. Prof Dr Paul Janssen, pendiri industri farmasi Janssen Pharmaceutica Belgia yang tergolong paling banyak menemukan molekul bahan aktif obat baru menyatakan, hendaknya masyarakat dunia tetap menjunjung hak paten dan hak milik intelektual di bidang obat, karena tanpa riset tak akan ditemukan obat baru. Kemajuan di bidang riset obat-obatan yang cenderung menurun juga perlu dibantu agar masalah manfaat dan risiko tidak menghantui para penemu dan industri farmasi (Kompas, 7/5/1993). Laboratorium Janssen di Belgia yang kendati kini telah dibeli oleh perusahaan Johnson & Johnson AS rata-rata bisa memproduksi satu jenis obat baru setiap enam bulan, jauh lebih cepat dibanding industri farmasi umumnya. Ratusan penelitinya setiap hari mensintesa puluhan molekul baru, tapi dari beberapa ribu molekul baru h anya satu-dua yang bisa dilanjutkan untuk menjadi obat yang komersial. Semuanya itu membutuhkan dana yang tak sedikit, karenanya Janssen harus rela menerima modal dari AS. Di sinilah ironinya. Industri farmasi multinasional harus melakukan litbang untuk penemuan obat dengan kelompok terapi tertentu, karena mustahil mencakup semua spektrum obat yang ada, tapi perusahaan swasta nasional seperti di Indonesia bisa dengan leluasa tinggal menunggu obat-obat mana yang top dari seluru h spektrum golongan terapi, lalu tinggal "menjahitnya." Bagi negara seperti Indonesia, rasanya sulit untuk mengejar ketinggalan di bidang litbang farmasi dan kedokteran. Karenanya yang lebih memungkinkan adalah secepatnya melaksanakan sistem asuransi kesehatan masyarakat, memperbanyak obat-obat esensial dan generik untuk lapisan masyarakat yang membutuhkan, dan menata kembali industri farmasi kita yang sakit, sehingga industri farmasi nasional tidak hanya menjadi sekadar pembuat o bat-obat "latah" atau "jiplakan" dengan margin keuntungan selangit. (Irwan Julianto)
posted by yanuarsintoanggoro @ 02.16   0 comments